06 November 2014

Ketika Guru Jadi Backpacker #Air Terjun Napua

11/06/2014 05:05:00 AM 14 Comments




Dulu, sebelum pernah ngebayangin bakal terdampar di papua, aku pengen banget jadi backpacker. Karna apalagi kalo bukan karena baca-baca blog temen-temen yang tiap abis weekend postingan blog nya pasti jalan-jalan mulu. Sebut saja blog nya kak Lina. Tiap ngebaca tu rasanya pengen garuk-garuk keyboard laptop saking ngirinya liat foto-foto di blognya. Naik gunung rame-rame dengan ransel berat serba lengkap di gedong di punggung. Jalan kaki ratusan meter, naik turun bukit yang terjal, nginep di hutan pake tenda, wuaaahh… Keren banget kayaknya. Bukan kayaknya, emang keren banget!

Begitulah hasrat aku untuk jadi backpacker yang selama aku tinggal di Pekanbaru belum pernah kesampean. Tapi siapa sangka, Mimpi aja aku nggak pernah bakalan tinggal di Papua! Demi apa aku tinggal sama orang-orang yang nggak malu jalan telanjang d tengah kota Cuma pake koteka doang. Demi apa sodaraaa…. Ngimpi juga nggak pernah! Aku emang pernah kepengen ikut SM3T, rencana ini ada di dalam list PLAN B aku dan temen-temen setahunyang lalu. Bahkan rencana itu juga aku abadikan di postingan blog yanag ini. Eehh.. siapa sangka sodaraa… aku beneran ikut SM3T, dan terdampar di Papua lagi… paling pojoknya Indonesia… mamake tolooooongggg….. 

Tapi begitu turun dari pesawat Garuda yang udah mengombang ambingkan aku di udara selama 5 jam, perasaan nyesel, takut, pengen pulang, semua itu runtuh waktu aku liat pemandangan kota Wamena. Ibukota provinsi Jayawijaya. Yang kata orang, kalo belum ke Wamena, belum ke Papua cuy..

Disini terhampar bukit berbaris-baris. Gunung dimana-mana. Mengelilingi kota. Eh tapi sampe sekarang aku masih bingung deh, yang mana bukit yang mana gunung. Sama aja bentuknya. Kemana mata memandang di kota Wamena ini, semuanya gunung dan bukit. Kota yang ada di tengah-tengah gunung. Makanya nggak ada akses jalan darat untuk bisa sampe kesini, soalnya nggak ada jalan yang rata. Karena bisanya naik pesawat doang, harga-harga disini luar biasa mahalnya, karna semuanya di angkut pake pesawat. Babi tetangga aku aja pernah naik pesaawat dari jayapura ke wamena. Aku pikir Apa nggak di bom aja ya salah satu gunungnya biar ada akses darat, dan harga nggak melampung setinggi langit kayak gini. Makan nasi padang aja kena 50k cyinn..

Oke, ini udah keana-mana ceritanya… back to backpacker..

Jadi ceritanya waktu nyampe di Papua, aku langsung laper mata. Pengen jalan-jalan kesana kesini. Weekend Minggu pertama aku masi ngintilin si Hotma nginep di rumah nangborunya (Tante) sesama orang batak satu marga. Keluarga ini tinggal di kotaa. Kami di servis abis disana, makan enak, tidur pake selimut tebal, nonton tv dll. Hahaa.. minggu ke dua aku dirumah, ngebikin kue ulangtahun dari nasi goreng untuk partner seperjuangan aku yang waktu itu lagi ultah. Baca aja ceritanya DIPOSTINGAN HAPPY BIRTHDAY HOTMA.

Pertaruhan nyawa menuju air terjun Napua

Nah, minggu ketiga ada d Wamena. Aku dan rombongan temen-temen SM3T dari Riau, jalan-jalan ke Napua.  Sedangkan si Hotma memilih nginap di rumah tantnya, karena kata tantenya daerah menuju Napua nggak aman. Disana ada posko temen SM3T juga, dan ada air terjunnya. Berangkatlah kami guru-guru yang super nekat ini ke Napua dengan menyewa mobil sejenis superben. Nggak semua temen2 rombongan Riau yang ikut ke Napua. Hanya 13  orang-orang nekat yang ikut pergi. Kenapa? Karna hari kami berangkat itu sedang ada perang antar suku. Ya, papua kan emang hobinya suka perang suku gitu..
Sebelum berangkat, Alga, temen SM3T yang bertugas di Napua udah bertanya sana-sini, dan udah mastikan kalo perang antar suku yang berlangsung sejak hari jumat itu sudah selesai (hari kami berangkat adalah sabtu). Kami pun siap berangkat. 
Waktu jalan kaki keluar dari SD YPK Betlehem Wamena (posko tempat kami biasa berkumpul kalo turun ke kota), datanglah iring-iringan mobil polisi dengan pasukannya. Ada 3 kompi mobil polisi yang melintas di depan kami. Mereka semua membawa senjata yang siap ditangan. Salah seorang polisi menyilangkan tangannya di dada dengan muka pias. Aku pikir nih polisi ngapain sih.. ternyata mereka ngasih kode supaya kami jangan jalan terus, rombongan jalan kaki ini pun berhenti di depan sebuah bengkel.
Seorang bapak keluar dari bengkelnya dan bicara dengan Alga dan cowok-cowok yang jalan di depanku. Aku dengar bapak itu melarang kami melanjutkan perjaanan karena ada perang. Seorang ibu-ibu pendatang juga keluar dari toko pancing. Ibu itu dengan muka gelisah dan cemas melarang kami naik ke Napua.
“kalian mau kemana? Di sinagma ada perang ini. Kalian tidak lihatkah polisi sudah tutup jalan itu.” Kata ibu itu dengan muka pias.
“Kami mau ke Sinagma, Mama. Teman tadi su bilang di Napua Aman.” Jawab kami.
“aihh… Napua Aman, tapi kalau mau ke Napua lewat pasar sinagma, To. Disana dorang (dia orang) sedang perang itu. Mereka ratusan, bawa panah semua, bawa senapan angin juga ada. Sa (saya) kasi tau kalian e, jangan buang nyawa disini. Mereka itu tak pilih, siapa yang lewat main habisi saja itu. Mau pendatang kah, orang asli kah. Lebih baik kalian nginap di kota saja dulu, saya saja pu rumah di atas, suami suruh saya ngungsi disini dulu. Sa tra (tidak) berani naik.. anak saya libur sekolah sejak kemarin ini.  Doranag peranga kan sudah sejak hari kami to. Kalian tidak tau kah?” ceramah ibu pendatang asal makassar itu panjang lebar. Ibu itu sudah puluhan tahun tinggal di Papua. Mengikuti suaminya yang jadi PNS disini. 
Kami yang cewek mulai galau. Membayangkan ratusan orang papua yang memakai koteka, membawa panah menghadang mobil kami di pasar sinagma. Tempat mereka perang antar suku. Hampir satu jam kami berembuk di pinggir jalan itu. Mau kembali ke posko ku juga tidak mungkin, karena menuju posko ku harus melewati sungai Wouma. Disanalah kemaren ditemukan jenazah mengambang setelah perang, artinya sungai wouma di saat perang seperti ini tidak aman. Apalagi sore. Si Risma dan Jumi, yang punya posko di megapura juga pengen balik aja ke poskonya, tapi sudah sore,  tidak ada taksii (angkot). Kami makin resah gelisah. Sedangkan di Aan, Elen dan Oci (guru SM3T dari Kalimantan) tetap nekat mau ke Napua. Karna Alga selaku Ketua Rombongan (yang kami nobatkan saat itu juga) udah menghubungi kepseknya d Napua dan bilang kami bisa naik dengan aman. Jadilah Dedek, tanpa pesetujuan dari Aku, Risma dan Jumi (kelompok minoritas yang nggak berani naik) memesan sebuah mobil untuk naik ke atas. Aku dan cewek-cewek yang takut berharap semoga mobil itu tidak jadi datang. Tapi kalau tidak ke Napua, kami juga tidak tau mau tidur dimana malam itu, sedangkan sore sudah mulai menyisakan gelap.
Finally, mobil sewaan itu datang, setelah bernegoisasi harga dan supir siap untuk enembus kerumunan masa di pasar sinagma. Kami naik ke mobil dengan jantung yang berdetak tak karuan. Aku ambil posisi duduk di tengah paling belakang. Semua kaca mobil di tutup. Kamia pun berangkat dengan doa yang tak putus-putus ku ucap di mulut.
Sampai di pasar sinagma, memanga abanyak orang bersenjataa berserakan.  Tapia abaukan oranaga papua yang memakai koteka membawa panah seperti cerita yang kami dengar. Beberapa toko dan kios sudah di tutup. Polisi dan TNI dengan seragam loreng dan sejata di tangan juga berkeliara disana. Aku tidak tau lagi berapa kecepatan  jantungku ini berdetak. Handycam yang rencananya akau pegang untuk merekaama adegan perang sungguhan itu mulai bergetar. Tak ajelas lagi mengarah kemana. 
Sampai di simpang pasar, mobil kami di cegat oleh sekelompok pilisi yang berjaga-jaga disana. Polisi menanyakan tujuan kami. Setelah kami jawaab polisi itu bilang tidak bisa naaik, jalan di pasar Sinagma sedang tidak aman. Ketua rombongan mengataakan kami adalah guru-guru SM3T yang akan naik ke Napaua, polisi itu terlihat berat dan ragu-ragu. Tapai polisi lainnya menghampiri supir kami dan member solusi.
“Kalian bisa naik, tapi sampai ke pos Napua nanti kalian lapor dengan TNI yang ada di pos sana. Biar mereka kasi ama. Jalan sudah. Tidak apa-apa. tutup saja kaca mobil ini e.” katanya meberi solusi denga logat papua yang kental.
Kami melanjutkan perjalanan dengan jantung atraksi marching band. Suara degub jantungku hamper terdengar di telinga. Masing-masing kami komat-kamit membaca doa apa saja yang kami ingat. Tapi ada juga beberapa yang tetap saja melawak, mencairkan suasana.
Ketika di perjalanan, tepatnya di lapangan pasar sinagma inilah kami melihat puluhan (bukan ratusan seperti yang dikabarkan) orang papua memakai koteka, membawa panah. Tapi syukurlah mereka tidak sedang perang, melainkan sedang duduk berbaris mendngaarkan instruksi seseorang yang berdiri di depan mereka. Mungkin itu pimpinan perangnya. Supir kami bilang, mereka sedang rapat sebelum perang. Alaamaaakk….. sebelum perang ternyata rapat dulu. Gaaool…. Terus supir kami bilang, besok insyaallah kami bisa pulang dengan aman. Karena hari minggu disini adalah hari Tuhan. Kegiatan apapun d hentikan, termasuk perang. Jadi kalo hari minggu perangnya libur dulu, hari senin baru dilanjutkan kembali. O em ji…. 
Tidak lama kemudian, sampailah kami di Napua degan selamat. Betaapa leganya hati kami melihat gerbang poskonya Alga, kak Rina dan ini. Rasanya mau sujud syukur di tanah, bersyukur bisa melewati rintangan tadi.
 
Gerbang Poskonya Alga, Ochi dan Kak Rina
di belakang itu Poskonya Alga.. kumuh luarnya.. tapi dalemnya okeh banget!

Karena hari sudah sore, badan capek dan mental juga drop. Kami menunda acara jalan-jalan ke air terjun. Sore itu kami kumpul-kumpul nggak jelas aja di poskonya Alga. Paginya, barulah kami beraksi. Melihat sunset di paagi dari dari belakang rumah Alga.

sebenernya lebih indah dari yg di foto.
 
merah saga nya nggak keliatan karena cahaya camera terlalu terang
nah ini baru dapet.. tapi agak blurr.. hohoho

Dari atas gunung Napua jam 6 Pagi. dari Atas sini kita bisa lihat kota Wamena


Siangnya, barulah kami pelan naik turun gunung ke air terjun Napua. Jaraknya sekitar 30 menit jalan kaki. 
perjalanan menuju Air Terjun Napua. semua ditempuh jalan kaki cyinn..
 
naik ke sini harus estafet. saling tarik biar bisa sampe ke atas

 
lewat Hutan Belantara

di tengah-tengah huta, kami ketemu tempat lapang seperti ini. foto dolloo...
 
kami ketemu sungai ini sebelum sampe. kirain ini air terjunnya. untung bukan


harus melewati kali kecil yang bikin kaki kami berbecek-becek ria

Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnyyaaa sampe juga di air terjun Napua-Wamena-Jayawijaya. Ini dia penampakan air terjunnya… lumayaannn..

mereka langsung nyeburrr... aku nggak bawa celana ganti. gak berani ikut
akhirnya setelah kak Rina janji minjemin celana panjang, aku bisa nyebur dan berfosee... eaakkk
cari insprirasi
Absen dari kiri : Aidi, Jumi, Risma, Aku, Rina. semuanya SM3T Riau
si Alga (pake baju hitam) udah membeku kedinginan
Absen dari kiri searah jarum jam : I'am, aku, Aan, Tika, Rina, Aidi, Jumi, Ellen,
Risma, dan anak2 Papua. Masi banyak yg belum ikutan nih.

Setelah air terjun Napua, destinasi selanjutnya adalah air terjun Air Garam yang ada di Distrik Asotipo. Nantikan cerita dan fotonya hanya di blog tercintah ini yaaaaaa ^_^

Keluarga Baru [live in papua part #2]

11/06/2014 03:09:00 AM 3 Comments

Haaallloo pembaca setia blog gaje ini. Ketemu lagi dengan cerita dari papua #kibas poni

Nggak kerasa udah 2 bulan tinggal di Papua, Alhamdulillah atas doa orangtua, saudara,kerabat dan kalian semua, aku disini masih bisa menghirup udara segar pegunungan, dan masih  bisa ngetik untuk mengisi blog tercintah. Juga untuk mengobati kerinduan sahabat semua #kibas jilbab

Kata kakak-kakak alumni yang SM3T Di papua sebelunya. Penempatan kita tergantung amal ibadah kita selama di Riau. Hahaha.. naik haji keless.. kak Juniar dan Kak Vita, alumni SM3T angkatan III yang bertugas di Lanny Jaya (daerah konflik di Papua, tempat nongrongnya OPM) mereka bilang, bukan hanya tempat tugas yang untung-untungan. Gaji dan honor juga beda-beda. Ada daerah yang memberikan tunjangan besar, bahkan sampai 7 juta perbulan. Ada juga yang sama sekali tidak memberikan tunjangan, dilirik juga kagak. Jadi guru SM3T yang bertugas hanya mendapatkan gaji pokok dari DIKTI Sebesar 2,5 juta perbulan. Kalau di hitung berdasarkan harga barang disini yang kadang bisa sampai 10 kali lipat dari harga Sumatra, 2,5 juta tidak ada artinya. Hidup pas-pasan.

Jadi selama sebelum berangkat, terhitung setelah dinyatakan lulus wawancara sampai detik-detik berangkat, aku selalu berdoa : “Ya Allah, berikanlah aku tempat tugas terbaik dan teman sekelompok yang baik”. Udah gitu doang. Aku lupa minta gaji yang besar. Karena menurutku tempat terbaik itu sudah mencakup semuanya. Kalau tempat tugasku punya Sekda yang baik, kepala Dinas Pendidikan yang perhatian, Kepala Sekolah yang mau bekerja sama, dan guru-guru yang care, aku kira semua pasti akan baik-baik saja.

Alhamdulillahirobbil ‘alamin ala kulli hal. Allah kasi aku rumah yang nyaman, dan teman sekelompok yang baiknya luar biasa. Allah maha mendengar do’a hambanya. Selain punya teman serumah yang baik, Allah juga kasi aku bodyguard gratis sebagai satpam kami 24 jam. Nikmat Allah yang  manakah yang engkau dustakan.?

 Pasti pada penasaran kan.. here we goes.. Aku  kenalkan satu persatu, siapa aja orang-orang yang ada di sekitarku. Yang akan menjadi keluargaku di Papua selama satu tahun ke depan.