19 Desember 2014

Ketika Guru Jadi Backpaker. Part #2

Air Terjun Air Garam
#Intro
Sebenernya perjalanan ke air garam ini udah lama banget. Sekitar awal oktober yang lalu. Tapi nggak afdol kalo nggak di ceritain di blog ter cintah ini. Ibarat sayur tanpa garam. (apa hunungannya) Jadi wajib gue certain di blog ini. Muehehe.

Air terjun yang akan kami kunjungi kali ini terletak di Desa Air Garam, Distrik Asotipo, Wamena, Kab. Jayawijaya. Provinsi Papua. Kalo kamu liat di peta. Nggak bakal ada desa air garam. Karna letaknya paling ujung di distrik asotipo. Nggak ada listrik, sinyal, dan sulit air. Di desa inilah 2 guru asal Riau dan Kalimantan mengabdi untuk anak negeri. Kepala desa air garam yang antusias banget dengan kedatangan 2 cowok ini langsung merelakan rumahnya untuk di tempati, sedangkan beliau sendiri rela tinggal di Honai (rumah adat papua).

Sayangnya, meski sudah di berikan rumah, si Aidi yang berasal satu kampus denganku itu tidak bisa tinggal di rumah yang sudah di sediakan persis di depan sekolah. Darwin yang datang dari UNMUL (Universitas Mulawarman, Samarinda) pun sependapat. Bahkan gosip yang beredar di antara SM3T Wamena, di awal kedatangan mereka di desa air garam. Darwin sempat menangis sambil menelpon orangtuanya hihihi.. siapa yang tidak menangis membayangkan bakal tinggal di rumah yang jauh terpisah dari rumah penduduk, tidak ada listrik, tidak ada sinyal dan tidak ada air. WC untuk membuang hajat pun tidak ada.  Wajarlah Darwin menangisi nasibnya untuk satu tahun ke depan.

Sorenya mereka turun gunung menuju Hitigima. Desa tempat tugasku mengajar. Perjalanan sekitar 1 jam jalan kaki (nggak ada transport selain jalan kaki disini). Mereka membawa laptop dan gadget lainnya untuk di cas di rumahku yang alhadulillah ala kulli hal ya Allah. Rumahku ada listriknya 24 jam. Sore itu mereka curhat. Sore di hari pertama di tempat kami mengabdi, sore ketika aku berteriak kegirangan melihat aidi datang dari atas gunung. Sore setelah air mata pertama ku di Papua.

Malam itu kami atur strategi, plan A nya Darwin dan Aidi bakal tinggal serumah dengan aku. Dan mereka akan bolak-balik jalan kaki ke sekolah. Karena mereka nggak cukup tahan untuk tinggal di atas (air garam) tanpa listrik, sinyal dan tidak ada yang bisa menjamin keamanan mereka karena rumah yang jauh terpisah dari rumah penduduk. Pasti udah pada tau gimana kondisi keamanan papua yang rawan terjadi kejahatan itu.
Ternyata, setelah di telpon, teman kami satu distrik asotipo yang hari ini juga sampai di Desa Sogokmo tidak beda jauh nasibnya dengan Air Garam. Rumah mereka ada di dalam lingkungan sekolah, tidak ada air, tidak ada listrik, kesulitan sinyal, tapi WC masih ada, menggunakan WC sekolah yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Ketika di telpon, suara muti  yang putus-putus menandakan mereka ketakutan tinggal rumah yang jauh dari keramaian. Dengan gagah berani, akhirnya Darwin dan Aidi malam itu juga menjemput Fauzan Azimah alias Aan dan Muti yang ada di sogokmo. Malam-malam jalan kaki sekitar1 jam dengan berbekal senter. Aku menahan napas khawatir menunggu mereka dirumah. Untunglah mereka selamat sampai dirumahku. Dengan membawa barang-barang berharganya dan sleeping bed, Aan yang alumni Biologi di UR dan Muti yang berasal dari UNMUL itu bercerita  tentang poskonya. Ternyata dari 3 posko di distrik asotipo. Posko akulah yang paling layak huni. Dirumahku ada 2 kamar, ruang tamu, ruang tengah, dapur mini, dan dilengkapi dengan listrik 24 jam. Sinyal bagus (bahkan bisa buka FB sesekali), dan ada WC di dalam rumah. Air memang agak sulit karna harus angkut jauh, tapi untuk hari pertama iitu pak Wetipo sudah menyedakan banyak air di kamar mandi untuk kebutuhan kami. Thanks God!
hari pertama hidup di Papua. masa-masa si Aidi dan Darwin masi jadi anak terlantar :D
awal -awal hidup di papua




Malam itu kami tidur berlima dirumah. Aku dan Hotma (yang belum kenal siapa Hotma, baca aja postingan sebelumnya), Aan dan Muti tidur di kamar kami, pak Wetipo tidur di kamarnya juga. Sedangkan aidi dan  Darwin di pinjami alas tidur dan selimut dari kepala sekolahku untuk tidur di ruang tengah. Sebelum tidur kami sempat berembuk rencana selanjutnya. Bahkan kepala sekolah air garam dan kepala sekolahku juga ikut andil malam itu. Mereka juga menjelaskan tentang distrik dan keadaan sekolah. Akhirnya, diputuskan Aidi dan Darwin tinggal di sogokmo, menemani Aan dan Muti. Karena itu, setiap hari 2 cowok ini harus jalan kaki menuju sekolahnya selama  1 jam, mendaki gunung yanag kemiringannya sekitar 45 derajat.

Itu sekilas tentang SM3T yang ada di distrik asotipo. Kembali ke judulnya. Ceritanya setelah selesai lebaran Idul Adha di Walesi. Kami mau mengunjungi air terjun yang ada di air garam. Perjalanan ke air garam ini penuh perjuangan banget deh pokoknya.

Dari walesi kami di jemput oleh mobil dinas perhubungan sampai di Posko Megapura (sekitar 10 menit dari kota), dari sini kami harus naik taksi (angkutan umum di Papua) ke Sogokmo. Masalahnya udah lewat magrib, susah nyari taksi jam segitu. Tapi karena kami cukup rame, Darwin harus kembali ke kota untuk mencari taksi. Sayangnya, belum sampai di sogokmo, taksi itu mogok. Bayangkan, di tengah kegelapan malam, kami harus jalan kaki berbekal sinar lampu HP sekitar setengah jam karena taksinya benar-benar tidak bisa di jalankan. Tuhan.. tolong jaga kami.
Malam-malam, mobil mogok. jalan kaki cuma berbekal senter dari HP
Sampai di Sogokmo belum bisa istirahat karena harus menyiapkan makan malam kalau tidak mau kelaparan. Lagian ada daging qurban yang kami bawa dari Walesi. (baca postingan Kampung Muslim Walesi)

sebelum berangkat foto dulu di posko Aan.
dari kiri atas : Ranti, Aan, Jumi, Aku, Risma, Tika, Aidi dan Aris
Paginya, barulah kami start jalan kaki naik gunung untuk melihat air terjun air garam. Ternyata jalan kaki 1 jam itu nggak gampang ma meeen…. Baru jalan 10 menit sudah banyak yang tepar dan minta istirahat. Barulah kami bener-bener salut dengan perjuangan Darwin dan aidi setiap hari menuju sekolah. Standing applause deh buat perjuangan mereka mendidik anak papua.

ini nggak tau pake gaya apa

Medan yang harus di tempuh

menyusuri sungai yang mengering

Setelah berjalan satau jam, barulah kami sampai di posko Aid dan Darwin. Poskonya berada tepat di samping sekolah. Sebuah rumah panggung dengan 1 kamar dan dapur tungku. Selain sebuaah kasur besar, tidak ada perlengkapan lain di rumah itu. Mungkin karena hanya ditempati untuk sholat zuhur dan makan jadi tida ada perkakas rumah disini. Dirumah yang jauh dari rumah penduduk ini kami istirahat sebentar untuk sholat zuhur, bahkan sempat tidur siang.

Tidur siang bentar, kami pun melanjutkan perjalan ke air terjun. Ternyata jalan yang di lewati luar biasa. Jauh dari yang di bayangkan. Kami harus melewati hutan yang banyak kotoran babi dimana-mana. Salah angkah harus rela masuk daam kubangan taik babi. Hiyy.. belum lagi harus menyusuri tepian singa yang penuh batu. Di tambah menyebrangi sungai yang airnya mengalir deras. Sesuatu banget perjuangannya. Dapet banget feel backpackernya. Hahaha

Untunglah sampai di TKP air terjunnya nya cukup memuaskan. Nggak kayak air terjun sebelunya yang ada di Napua. Dengan air yang superrr dingin kayak es, kami mandi dan teriak-teriak kedinginaan kayak orang norak baru ketemu air dingin.

Ini dia aksi kami di air terjun air garam. So sorry buat yang fakir kuota. Fotonya agak banyak :p












prepare makan siang

ajiiibbbbb....




pulang dari perjalanan hampir 4 jam jalan kaki. semua baju udah pada basah dan kaki berlumpur

Sampai jumpa di pertualangan selanjutnya ^_^


16 komentar:

  1. Assalamu'alaykum saya mau tanya kalo misalnya lulusan Ekonomi, trs kuliah lagi PGSD yg 1tahun, nantinya bisa ikut program SM3T gak ya? Makasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. waalaikumsalam...
      maksudnya kami transfer dari ekonomi ke PGSD?
      ga tau juga ya, setau aku syaratnya lulusan FKIP S1. kalo kamu ijazahnya 1 PGSD berarti bisa... :)

      Hapus
  2. Wuih, salut sama kepala desanya. Rela tinggal di Honai.
    Kapan ya, gue bisa kesana. Pengen gitu ngerasain air terjunnya. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaa.. demi guru kepala desanya rela move on ke honai..
      kesini ayo.. nanti aku ajak jalan-jala keliling wamena :D

      Hapus
  3. salut gue sama seorang guru, dan pokoknya keren, selain pembelajaran, pengalaman, keseruan, dan cerita semuanya dapet.. :'D

    BalasHapus
    Balasan
    1. rugi kalo udah jauh-jauh sampe papua tapi nggak jalan-jalan

      Hapus
  4. Beuh, perjuangannya berat bingit, gak ada listrik. Suram. Tapi terbayar ya dengan air terjun, haha.. Pengalamannya pasti kekal di ingatan tuh.. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahaaa.. jadi lucu gue baca "suram".
      iya juga sih.. emang suram hidup kalo nggak ada listrik

      Hapus
  5. Ga kebayang bakal tinggal di sana setaun tanpa listrik & sinyal. Tapi sayang juga kalo pengalaman ini nggak diabadikan di blog tercintah ini. Hehe.
    pastinya penuh perjuangan buat nulis ini. Tetap semangat menggapai cita-cita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. nulisnya sih biasa aja... kapan dan dimana aja bisa..
      masalahnya ngepostingnya itu... penuh perjuangan... harus turun ke kota buat dapetin sinyal ngenet. amin. tngkyu nggo :)

      Hapus
  6. Wiiiihhh!!!!! Kereeeeeennn!!! Tanah Papua emang top deh masalah pemandangan yang enak dipandang. Gue dulu juga pernah ke Papua, di Jayapura tepatnya, tapi dalam rangka bekerja. Muehehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. OYA?? kerja apaan sampe ke jayapura?
      kalo di jayapura mah udah kota banget lah, mall aja udah ada.. dari tempat aku ke jayapura masih naik harus pesawat lagi..

      Hapus
  7. Kalo udah ngerasa panggilan sih, kondisi sekeras apapun nggak ngaruh ya. Semangat ya buat kamu dan teman2nya... ^_^

    BalasHapus
  8. walaupun mogok dan khawatir seraya berdoa, tetap aja bisa bahagia fot rame2 ya

    BalasHapus

setelah baca tapi nggak ninggalin komentar itu sayang banget. ayo dong dikomen. penulis ingin tau reaksi pembaca.. makasih buat yang udah komen :)