26 Juni 2011

Aku Yang Terbuang

Hari ini semua penghuni rumah bahagia menyambut kedatangannya. Si cantik yang lucu. Semua menyukainya. Bahkan Mama memanggilnya “anakku”. Betapa bahagianya dia, baru satu hari kedatangannya dirumah mewah ini, tapi perhatian semua tertuju padanya. Ia dibelikan baju-baju cantik, diberi makan mewah yang harganya bisa ditukar dengan sebuah sepeda si kecil Yoyo. Bahkan ia juga diberi tempat buang hajat, terbuat dari batuan asli dari sungai yang berisikan pasir lembut pilihan. Hidupnya kini sempurna bagai putri.



Belum lagi kamarnya yang sengaja disiapkan oleh Mama. Letaknya dibawah tangga. Gordennya berwarna pink manis, alas tidurnya kain sutra yang lembut. Mama sengaja seharian mengelilingi mall untuk mencari box tempat tidur yang sesuai ukurannya. Mama benar-benar ingin membuatnya nyaman.



Sejak acara ulangtahun Mama tadi malam ia hadir dirumah ini. Mama memberinya nama dayma yang berarti hadiah Birthday Mama. Kadang Mama sering memplesetkan namanya dengan diamond. Ah begitu berharganya ia bagi Mama. Kata Mama dia adalah hadiah dari salah satu mantan pacarnya waktu SMA. Ya ampun Mama.



Sedangkan aku? Aku siapa? Aku hanyalah kucing kampung yang kurus, keriput dan tua. Lengkap dengan bulu-bulu yang tidak halus. Dari dulu aku tinggal di rumah ini, sebenarnya hanya aku saja yang mengaggap begitu, karena Mama sangat benci padaku. Tapi yang membuatku betah adalah si kecil Yoyo yang diam-diam selalu memberiku makan. Yoyo si kecil anak kelas II SD itu sayang sekali padaku, mungkin karena dia anak bungsu. Setiap ia pulang sekolah aku menyambutnya di depan pintu



Sebenarnya waktu datang kesini aku dalam keadaan sakit, tulang punggungku ditendang preman pasar. Di malam yang dingin aku merintih kesakitan sambil menyusuri jalan, dan sampailah aku di depan gerbang rumah mewah ini. Hujan turun lebat aku masih bertahan disini, di bawah pot bunga besar. Keesokan paginya, barulah Yoyo menemukanku, ia memelukku hangat dan memberiku makanan yang sudah lama ku idamkan, ikan bakar. Hm.. yummy…



Sejak itulah aku enggan pergi dari rumah ini, walaupun kerap Mama menendangku jika ketahuan aku berada di bawah meja makan, walaupun perutku merasakan sakit yang luar biasa karena dipukul dengan sapu, walaupun kepalaku sering pusing karena Mama memukulku dengan tongkat bisbol, walaupun sering aku harus berjalan pincang, tapi aku tetap disini. Aku mencintai rumah ini. Menemani Yoyo yang sering kesepian.

*****



“Dayma… diamond ku sayang… pus.. ck..ck..ck..” Mama memanggil si dayma yang pemalas itu. Hari-hari kerjaannya hanya berbaring didepan TV. Dikursi berukuran khusus yang disediakan untuknya.



“Yoyo… mana anak Mama satu lagi?” tanyanya pada Yoyo yang sedang asik bermain yoyo.

“Siapa ma?” Yoyo balik bertanya heran.



“Aduh, siapa lagi, ayo cepat bantu cari!” kata Mama sambil membawa keranjang tidur dayma yang kosong.



Huh, kemana lagi ia hari ini? Oh! Aku tau! Pasti ia ke rumah tetangga sebelah yang punya kucing Persia jantan. Huh! Genit sekali! Belum tau aja, Persia itu adalah mantanku! Seenaknya ia menghamiliku dan pergi begitu saja! Tak bertanggung jawab! Kini si dayma malah selalu mendekat kesana. Dasar ganjen!



Ku lihat Mama memasuki rumah kucing Persia itu, dan benar saja, Dayma yang genit ada disitu, kini ia pulang dalam gendongan Mama. Dayma sempat melirik sinis padaku. Bangga sekali dia bisa berhubungan dengan kucing jantan itu. Uh! Lihat saja nanti, Persia playboy menghianatimu. Aku yang pertama kali tertawa melihatmu menderita.



“Ck..ck..ck.. pus…” Yoyo memanggilku. Aku berlari mencari sumber suaranya. Ternyata ia sedang makan siang, aku mengelus-ngelus kakinya dari bawah meja. Ia menunduk dan memberikanku ikan sisa makanannya. Biarpun sisa aku tetap menikmatinya, lagipula ini bukan hanya tulang, masih tersisa daging disana. Aku menyantapnya lahap.



“Yoyo.. Yoyo…main yuk..” terdengar suara teman-teman yoyo memanggil di depan. Biasanya aku akan mengikutinya, tapi kali ini makananku belum habis, dan aku masih sangat lapar.



Yoyo bangkit dari kursinya, mengambil topi yang digantung dan melangkah ke luar. Menyambut teman-temannya. Mereka pergi dengan sepeda, aku masih saja mencoba mengunyah tulang-tulang ini agar bisa masuk ke tenggorokanku.



Tiba-tiba aku tersedak, aku tulang itu tersangkut di tenggorokanku. Sakit sekali. Aku berusaha mengeluarkannya, suaraku seperti mendengkur. Aku berlari-lari mengelilingi dapur, panik. Bagaimana cara mengeluarkannya. Aku melompat-lompat kesakitan. Ku coba menengadahkan kepalaku tetap saja tulang sial ini melekat di dinding tenggorokanku. aku coba memuntahkannya.



“Khork.. Urgh… Huekk…!!!” akhirnya tulang itu keluar, dan tentu saja seluruh makanan yang tadi kulahap juga keluar, sia-sia aku mengunyahnya dengan susah payah, kini kepalaku terasa berputar.



“Dasar kucing sial..!! beraninya muntah disini!” Mama yang baru saja datang melihat hasil kerja keras ku terpampang di lantai dapur. Aku meringkuk di bawah meja ketakutan.



“Awas kau kucing kampung! Hush..hush..” Mama menyodokku dengan sapu. Aku tetap tak bergeming, takut dipukul.

“E..e..e.. malah diam aja disitu!”

Mama menusukkan sapunya ke arah perutku yang kosong. Aku mulai ambil ancang-ancang utnuk berlari, menghindari Mama yang siap menghajarku.



Ketika mama menundukkan kepalanya ke bawah meja, aku sudah berlari keluar kearah pintu belakang. Tapi, ah! Terkunci. Mama sudah berdiri di belakangku.



“Plak..Plak… bug..”



Sapu itu mengenai kakiku, aku berjalan pincang kesakitan, ingin sekali berlari, tapi sapu itu tepat sekali mengenai tulang keringku. Mama memukulku tanpa ampun. Aku masih sempat berpikir, seandainya Yoyo di rumah, tak kan dibiarkannya aku disiksa begini.



Setelah puas menghajarku Mengangkatku ke lantai 2 dan mencampakkanku dari atas, aku jatuh se semak belukar dibelakang rumah dengan badan remuk. Mama kembali ke dapur dengan sumpah serapah berterbangan dari mulutku, entah untuk siapa, yang jelas aku tak bisa lagi berdiri, kepalaku rasanya ingin pecah, karena sapu itu tadi juga sempat mendarat dikepalaku. Aku tergolek lemas.



“Meong…meong..” si centil Dayma duduk di pelataran lantai 2. Menatapku iba. Uh, aku tak butuh kasihan darimu. Karena kau lah aku jadi begini. Semenjak kedatanganmu aku diacuhkan Mama. Aku memang hanyalah seekor kucing kampung yang tak layak tinggal dirumah ini. Selamat tinggak yoyo, selamat tinggal semua. Aku akan kembali ke jalanan. Menyusuri pertokoan, mencari makan di tong sampah dan tempat pembuangan. Karena inilah aku, kucing kampung yang terbuang.



*cerita ini di ikutkan iven animal buse untuk Fitri (DL nya udah lewat, jangan ditanya)

dimaksudkan supaya jangan ada lagi kucing yang disiksa, karena kita sama-sama makhluk tuhan.

2 komentar:

setelah baca tapi nggak ninggalin komentar itu sayang banget. ayo dong dikomen. penulis ingin tau reaksi pembaca.. makasih buat yang udah komen :)